Saturday 10 December 2016

Mahasiswa : Haruskah Pragmatis atau Idealis




Pragmatis atau idealis sebetulnya adalah permasalahan klise. Sebetulnya, apakah yang disebut dengan pragmatis itu sendiri dan apakah idealis itu sendiri? Kadang-kadang kita melihat salah satu sikap dan jadi melabeli mereka dengan hal itu. Tapi, di sisi lain, mereka bersikap sebaliknya.

Sebagai contoh yang marak adalah seorang mahasiswa yang terkenal sebagai aktivis mahasiswa, membawa nama rakyat kecil, turun ke jalan, menjembatani kepentingan rakyat dengan penguasa, dan sederet aktivitas sosial lainnya, tetapi begitu ia lulus, ia pun bekerja di perusahaan besar, entah itu perusahaan nasional atau malah asing. Jika perusahaan asing, siap-siap saja kata-kata cibiran muncul dari teman-teman seperjuangan di masa kuliah. Mereka akan serta merta mencap sebagai pragmatis. Mahasiswa idealis yang berubah menjadi pragmatis begitu lulus kuliah.

Contoh lainnya adalah kebalikan dari itu. Seorang mahasiswa yang dari awal pragmatis, mentargetkan lulus kuliah cepat, dengan IPK tinggi, dan mengantongi beragam sertifikat dari berbagai organisasi, begitu lulus langsung bekerja, bila nyantol di perusahaan besar lebih baik, tapi jika tidak lompat-lompat dari satu tempat ke tempat lain tidak buruk, lalu bekerja keras mencapai level yang lebih tinggi di perusahaan, menikah, lalu punya anak dan hidup sejahtera. Itu semua adalah rencana hidupnya, tapi begitu ia merasakan bekerja di perusahaan besar, tiba-tiba ia menjadi berpikir: sebenarnya untuk apa aku hidup? Untuk apa aku bekerja? Apakah semata karena kesejahteraan? Akhirnya ia pun bisa menuju jalan yang berbalik arah, ia memilih bekerja sosial yang tidak dibayar pun tidak apa-apa. Kalau orang bilang, mahasiswa tipe ini adalah mahasiswa pragmatis yang menjadi idealis.

Apakah menjadi pragmatis itu buruk? Apakah menjadi idealis lebih baik? Sesungguhnya menjadi pragmatis atau idealis adalah tergantung situasi. Masalahnya adalah di mana orang itu bersikap idealis dan di mana ia bersikap pragmatis. Mahasiswa mungkin tidak benar-benar menjadi pragmatis atau benar-benar menjadi idealis. Kedua sikap tersebut meski terdengar bertentangan, tapi bisa saja ada dalam diri orang yang sama.


Ketika seseorang sedang menghadapi masalah yang butuh penyelesaian cepat, mendesak dan penting, ia perlu memikirkan beberapa alternatif solusi. Solusi yang ideal tentu paling baik. Tetapi apakah solusi itu bisa langsung dilaksanakan? Nah, mungkin masih ada hambatan di sana-sini, sehingga harus bersikap pragmatis dan sedikit demi sedikit diperbaiki menuju kondisi ideal. Kalau terus-menerus bersikap pragmatis sebetulnya juga tidak baik, seperti menambal terus menerus jalan aspal yang rusak tanpa memikirkan alternatif solusi kemacetan, sedangkan kian hari manusia yang tinggal di situ, lewat, dan berkendaraan pribadi makin bertambah, menambah beban jalan dan membuat biaya perawatan semakin tinggi.



Sekarang ini mahasiswa sudah digiring untuk menjadi pragmatis sejak masa awal menjadi mahasiswa. Dalam seminar-seminar atau acara-acara penyambutan mahasiswa baru tak jarang dihadirkan senior yang sukses secara material. Pernah dihadirkan orang yang suka demo, membantu negosiasi biaya masuk mahasiswa miskin, atau mahasiswa sejenis itu? Kalau mahasiswa jenis itu tidak punya prestasi yang bisa dibanggakan selain demo-demo, jangan harap mereka bisa duduk di bangku kehormatan menyambut mahasiswa baru. Tidak hanya di dalam acara penyambutan mahasiswa baru, di setiap kuliah, setiap dosen mendorong mahasiswanya agar berprestasi secara akademik, secara organisasi, dan bekerja dengan baik, mencapai karir tinggi. Dosen-dosen mendengungkan hal itu, hidup enak dan kesuksesan secara material. Tak jarang mereka pun menghina yang berdemo, mengatai yang suka demo nilainya jelek,mengecewakan orangtua, tidak berguna untuk masa depan dan pandangan negatif lainnya. Hal ini bisa ditemui tidak hanya di fakultas yang mahasiswanya jarang berdemo, tapi juga di fakultas lain, walaupun intensitasnya lebih sedikit, tentu saja.

Lalu, apakah berdemo salah? Bekerja di perusahaan nasional salah? Tidak ada yang bilang demikian. Berdemo harus tau apa tujuannya. Mencapai tujuan tersebut tentu juga banyak jalan. Jika demo memang membantu rakyat jelata, maka itulah prinsipnya. Lakukan di mana pun dan kapan pun. Setelah lulus dari status mahasiswa, bagaimana cara lainnya supaya bisa tetap membantu rakyat kecil? Tentu bukan menghamba ke partai dan jadi calon anggota legislatif yang ujungnya cuma mau gaji besar saja, tapi mengatasnamakan rakyat. Bekerja, berwirausaha, atau menjadi peneliti adalah beberapa pilihan dan tidak bisa dibilang bertolak belakang dari pribadi ketika masih mahasiswa. Bekerja di perusahaan asing untuk orang yang dulunya demo mengatasnamakan rakyat kecil juga bisa berpartisipasi dalam program CSR perusahaan, atau malah membuat program-program gebrakan baru untuk perusahaan dalam hal bidang sosial. Bukannya malah lebih banyak yang bisa dilakukan? Bahkan dengan posisi sebagai perusahaan, bisa juga membantu menengahi antara pemerintah dan juga masyarakat.

Orang yang bekerja di perusahaan apakah otomatis menjadi orang pragmatis? Tidak begitu pula. Mahasiswa yang baru saja lulus, bisa punya prinsip untuk tidak bekerja di tempat-tempat tertentu. Sebagai contoh, dia tidak akan mendaftar untuk bekerja di perusahaan rokok dan anak-anak perusahaannya, jaringan supermarket yang menjual minuman keras, perusahaan keuangan berbasis bunga semacam bank, asuransi, pegadaian, perusahaan yang melarang menikah selama beberapa tahun, atau perusahaan yang melarang karyawatinya berjilbab.
Kebanyakan mahasiswa pragmatis, saking pragmatis, mau mendaftar apa saja. Ia tidak peduli perusahaan apa saja, asalkan diterima. Bahkan tak jarang ia pun mencurangi lembar jawaban tes, misalnya masih mengerjakan bagian sebelumnya padahal tes melarang kembali ke soal bagian sebelumnya. Ketika ia bersikap seperti ini, lalu dia diterima, dan berpikir pasrah, maka ia akan terus menyesali hari-harinya selama bekerja dan selalu mengharap datangnya libur, dan ingin cepat-cepat mengakhiri kontrak kerja.

Oleh karena itu, sebelum memutuskan bekerja di mana, ada baiknya mencari lowongan dan informasi, serta berbagai tips dari website. Di zaman yang seba canggih ini rasanya tidak sulit menemukan beragam informasi termasuk informasi mengenai lowongan pekerjaan. Bahkan ada beberapa website yang menyediakan jasa konsultasi untuk calon pelamar.
Namun tentu saja dari sekian banyak website, harus dilihat dulu kredibilitasnya

Apapun sikap yang dipilih, sebaiknya tetap punya prinsip. Jika manusia tidak punya prinsip dan mau praktis-praktis saja, maka tentu saja ia hanya akan jadi seonggok boneka yang hidupnya dikendalikan orang lain, dia akan terus menerus mengambil keputusan praktis yang menguntungkan dirinya dalam jangka pendek. Akan tetapi, lihatlah beberapa tahun ke depan, ia akan memikirkan makna hakikat hidup. Sebab ia selama ini hidup tanpa jiwa.

Akhir kata, ada kutipan yang bagus sekali: Jika kamu tidak mempertahankan sesuatu, maka kamu akan kehilangan segalanya (Malcolm X). Jika tidak punya prinsip sama sekali, dan rela menjadi ekstrim pragmatis, maka justru sikap seperti itu akan menjatuhkan di masa depan.