Saturday 27 May 2017

Contoh Makalah Netralitas Birokrasi



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah netralitas aparat pemerintah telah lama menjadi perdebatan yang ramai. Hal ini disebabkan karena posisi aparat yang mendua seringkali bersifat dilematis. Dualisme itu ditunjukkan dengan peran ganda aparat pemerintah, di satu sisi ia berperan sebagai warga negara biasa. Sebagai pegawai pemerintah ia harus bertanggung jawab dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya dengan baik dan tanpa memihak (bersikap netral). Dan sebagai warga negara biasa di masyarakat yang demokratis ia berpartisipasi dalam proses politik. Posisi dilematis aparat pemerintah tersebut seringkali merugikan aparat itu sendiri, negara dan masyarakat. Keterlibatan pegawai pemerintah dalam kegiatan-kegiatan politik dapat berakibat timbulnya bias administratif di mana mereka akan mengabaikan kewajibannya untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat luas tanpa memihak dan cenderung hanya memberi pelayanan kepada segolongan masyarakat tertentu yang menjadi anggota salah satu partai politik di mana ia juga berada didalamnya. Namun melarang pegawai pemerintah terlibat dalam proses politik sama halnya dengan mencabut hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Bagaimanakah sebaiknya menyeimbangkan kedua peran pegawai pemerintahan tersebut itulah yang masih menjadi tanda Tanya besar sampai saat ini.

B. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana tuntutan sebuah negara akan adanya netralitas birokrasi ?
2.      Bagaimana netralitas birokrasi dalam pemilu ?
3.      Bagaimana upaya-upaya dalam menjaga netralitas birokrasi ?

C. Tujuan Penulisan
1.      Menjelaskan tuntutan sebuah negara akan adanya netralitas birokrasi
2.      Menjabarkan netralitas birokrasi dalam pemilu.
3.      Menjelaskan upaya-upaya dalam menjaga netralitas birokrasi.

BAB II
KERANGKA TEORI
A.                Konsep Birokrasi Hegel
Hegel dalam karyanya yang berjudul philosophy of right yang terbit tahun 1821 mengembangkan suatu teori yang disebut “Universal Stand”. Istilah ini merujuk kepada kelompok fungsioner-fungsioner negara dan fungsi baru yang dijalankan sebagai hasil dari modernisasi pasca revolusi, dari sudut pandang Hegel bahwa peran dari kelompok fungsioner-fungsioner negara tidak sepenuhnya ‘administratif’, namun juga intelektual. Dengan terserapnya mereka ke dalam negara (pelayanan publik di dalam masyrakat) intelektual itu menemukan jati dirinya, ini disebakan karena negaralah dimana beragam kepentingan partikular masyarakat sipil diselaraskan dan diangkat ke level kepentingan umum yang lebih tinggi. Negara bersifat universal bagi Hegel karena membebaskan kaum intelektual, serta di dalam pelayanan atau masyarakat kaum intelektual (birokrasi) mampu menjalankan aktivitas mediasi, dan membawa kepentingan ke tingakat umum yang lebih tinggi. Jadi bisa kita simpulkan bahwa dalam pandangan Hegel. Birokrasi memiliki peran atau berperan sebagai jembatan penghubung antara masyarakat dan negara.
B.                Konsep Birokrasi Karl Marx
Konsep netralitas birokrasi telah dikembangkan menurut beberapa ahli menjadi sebuah teori yang digunakan dalam penerapan birokrasi, salah satunya menurut Karl Marx. Menelusuri konsep tentang birokrasinya Karl Marx dalam hubungannya tentang negara karena dalam hal ini Marx menggap bahwa birokasi sama halnya dengan negara. Dalam pandangan Marx tentang negara dilihat bahwa Marx menganggap pada hakikatnya negara adalah negara kelas, yaitu negara secara lansung atau tidak langsung dikuasai oleh orang-orang yang menguasai bidang ekonomi, jadi menurut Marx bahwa negara bukanlah lembaga diatas masyarakat yang bertindak secara pamrih yang bersifat netral yang bertindak demi kepentingan umum, akan tetapi alat ditangan para pemilik modal untuk mempertahankan kekuasaanya, sehingga wajar ketika kebijakan yang dikeluarkan negara hanya mementingan segelintir kelompok kecil.

C.                Etika dalam Birokrasi
Etika dalam konteks birokrasi menurut Dwiyanto (2002:188), mengatakan bahwa: “Etika birokrasi digambarkan sebagai suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan pada masyarakat”. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasinya. Etika harus diarahkan pada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat luas.
Sementara pemahaman pelayanan publik yang disediakan oleh birokrasi merupakan wujud dari fungsi aparat birokrasi sebagai abdi masyarakat dan abdi negara. Sehingga maksud dari public service tersebut demi mensejahterakan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut,  Widodo (2001:269) mengartikan pelayanan publik sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
Dalam sebuah birokrasi, terdapat sistem kegiatan yang terkoordinasi yang mengarah tujuan bersama di bawah kewenangan seorang pemimpin. Peran seorang pemimpin akan mempengaruhi kemana suatu negara akan bergerak; untuk kemajuan atau malah kemunduran. Peran moral kepemimpinan dalam upaya membantu pelaksanaan pelayanan publik yang baik sangatlah besar, sebagaimana diungkapkan oleh Putra Fadillah (2001:34), bahwa moral kepemimpinan pejabat publik untuk berbuat baik dalam pelayanan publik dan mematuhi norma hukum yang berlaku akan mewujudkan jati diri birokrasi dan pelayanan publik yang sejati. Dengan demikian kepemimpinan etis diperlukan dan penting dalam sebuah organisasi atau negara.


BAB III
PEMBAHASAN
A.   Tuntutan akan Netralitas Birokrasi
Bergulirnya reformasi tahun 1998, telah memberikan kondisi kepolitikan yang lebih baik di daerah dibanding dengan pemerintahan sebelumnya. Adanya otonomi daerah dan desentralisasi politik telah meningkatkan partisipasi politik publik. Ini adalah hal yang positif bagi pembangunan demokrasi di daerah. Tapi juga dapat menimbulkan kekhawatiran akan dampak negatifnya. Lebih dari itu, gerakan netralitas birokrasi juga memunculkan pluralisma Birokrasi (beurakratic plouralism), dimana format kebijakan lebih merupakan hasil dari kompetisi aktor-aktor ketimbang monopoli negara. Salah satu indikasi penting yaitu, peluang untuk mempengaruhi kebijakan publik lebih dimungkinkan dan juga relatif meningkatnya tanggungjawab birokrasi terhadap masalah-masalah sosial dan tekanan sosial. Miftah Thoha mengatakan ”netralitas birokrasi sebagai posisi birokrasi pemerintah yang seyogyanya tidak memihak, sengaja dibuat untuk memihak kepada kepentingan politik atau partai politik”.  Riant Nugroho menyebutkan, pembangunan di Indonesia dilakukan dalam paradigma politik yang dicerminkan ganti penguasa ganti peraturan. Karena dalam konsep ini, peraturan ditempatkan sebagai bukti kekuasaan, dan kekuasaan is the core of the politics. Dalam pengertian tersebut, maka pembangunan dilakukan dengan paradigma politik bukan manejemen. Manejemen dalam bentuk sebuah paradigma melihat segala sesuatunya sebagai sebuah upaya untuk mengoptimalkan semua asset yang ada, termasuk aset yang diberikan oleh manajemen.
Hal ini sejalan dengan slogan when politic end, administration begin. Artinya, ketika seorang politisi menduduki jabatan publik, maka ia menanggalkan status politisnya untuk menjadi seorang negawaran. Negarawan yang berdiri di atas semua kepentingan dan golongan.

B.             Netralitas Birokrasi Dalam Pemilu
Satu hal yang harus dijaga dan menjadi tantangan berat, jika ingin Pemilu berkualitas dan berjalan LUBER dan JURDIL; adalah mempertahankan atau bahkan meningkatkan netralitas birokrasi pemerintah. Birokrasi merupakan salah satu struktur politik yang penting dalam proses demokratisasi. Para birokrat menjadi agen sosialisasi politik yang sangat berperan dalam menyukseskan penyelenggaraan pemilu, pilpres dan pilkada. Kecenderungan yang terjadi pada era orde baru yang menjadikan konsep “monoloyalitas birokrasi” sesuai PP No. 12/1969, yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri waktu itu, telah menjadikan birokrasi sebagai alat yang ampuh untuk menjustifikasi kebijakan pemerintah dan melegitimasi kekuasaan. Jiwa dan semangat “monoloyalitas” telah tertanam di dalam diri setiap birokrat dan pada tingkat tertentu juga militer, terhadap keberadaan Golkar pada era itu, menyebabkan pola-pola yang terbentuk, semakin menampakkan warna dan gejala “birokratik”. Tentu, kita tidak ingin “penyakit lama” para birokrat termasuk di dalamnya PNS; yakni keberpihakan pada salah satu parpol akan kambuh kembali. Keluarnya PP No. 5 dan No. 12 tahun 1999, yang membatasi PNS dalam berkiprah di dunia politik; menjadi “obat” bagi kebuntuan proses demokratisasi yang telah berjalan puluhan tahun. Untuk menjawab tantangan itu maka diperlukan nitralitas birokrasi.
1.    Netralitas PNS
Sejarah birokrasi di Indonesia menunjukkan, PNS selalu merupakan obyek politik dari kekuatan partai politik (parpol) dan aktor politik. Jumlahnya yang signifikan dan fungsinya yang strategis dalam menggerakkan anggaran keuangan negara selalu menjadi incaran tiap parpol untuk menguasai dan memanfaatkan PNS dalam aktivitas politik. Saat-saat menjelang pemilu, aktivitas politik partisan PNS menjadi kian intensif karena partisipasinya untuk mendukung kampanye secara terbuka maupun terselubung amat efektif.
Bagi parpol, keterlibatan PNS akan amat membantu dan mempermudah pelaksanaan kampanye yang sering terjadi melalui pemanfaatan fasilitas negara (mobil, gedung, dan kewenangan) secara diskriminatif, yang  menguntungkan salah satu parpol. Selain itu, di pelosok pedesaan yang mayoritas penduduknya tidak terdidik, figur dan pilihan PNS akan menjadi referensi bagi pilihan masyarakat.
Pertukaran ekonomi politik antara partai/aktor politik (caleg) dan PNS dalam pemilu tidak saja menguntungkan sisi politik, tetapi juga PNS sendiri. Keberpihakan PNS dalam pemilu kepada parpol/caleg dibutuhkan  untuk promosi dan karier jabatan. Dalam sistem birokrasi di Indonesia kini, di mana promosi dan karier jabatan tidak ditentukan oleh kompetensi dan kinerja, tetapi oleh afiliasi politik, netralitas PNS sulit ditegakkan. Hal inilah yang dapat menyumbangkan terjadinya blunder dalam pelaksanaan pemilu.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian Negara mengatur secara tegas netralitas pegawai dalam pemerintahan. Pasal 3 UU No 43/1999 mengatur, (1) Pegawai negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan; (2) Dalam  kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), pegawai negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Ketentuan ini jelas melarang keberpihakan PNS dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan. Dalam praktik, tercatat ada tiga bentuk pelanggaran yang dilakukan PNS dan pejabat pemerintahan dalam pemilu.
Pertama, penyalahgunaan kewenangan yang dimiliki, antara lain menerbitkan aturan yang mewajibkan kampanye kepada bawahan, pengumpulan dana bagi parpol tertentu, pemberian izin usaha disertai tuntutan dukungan kepada parpol/caleg tertentu, penggunaan bantuan pemerintah untuk kampanye, mengubah biaya perjalanan dinas, dan memaksa bawahan membiayai kampanye parpol/caleg dari anggaran negara.
Kedua, penggunaan fasilitas negara secara langsung, misalnya penggunaan kendaraan dinas, rumah dinas, serta kantor pemerintah dan kelengkapannya. Ketiga, pemberian dukungan lain, seperti bantuan sumbangan, kampanye terselubung, memasang atribut parpol/caleg di kantor, memakai atribut parpol/caleg, menghadiri kegiatan kampanye dengan menggunakan pakaian dinas dan kelengkapannya, serta pembiaran atas pelanggaran kampanye dengan menggunakan fasilitas negara dan perlakuan tidak adil/diskriminatif atas penggunaan fasilitas negara kepada parpol/caleg. Larangan penggunaan fasilitas pemerintah ini juga diatur dalam Pasal 84 Ayat 1 Huruf h Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pasal 41 Ayat 1 Huruf h Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden.
2.    Netralitas TNI/POLRI
Salah satu bentuk dukungan Tni terhadap netralitas pemilu adalah embali menegaskan jaminannya bahwa TNI akan bersikap netral pada Pemilu, Penegasan TNI untuk netral sudah dicanangkan sejak 2004 dan pada 2008 makin dimantapkan dengan diterbitkannya buku saku Netralitas TNI. Diantaranya yang menjadi bentuk netralitas TNI/ Polri diantaranya adalah:
a.         mengamankan penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada sesuai dengan tugas dan fungsi bantuan TNI kepada Polri.
b.        Netral dengan tidak memihak dan memberikan dukungan kepada salah satu kontestan Pemilu dan Pilkada.
c.         Satuan / Perorangan / fasilitas TNI tidak dilibatkan pada rangkaian kegiatan Pemilu dan Pilkada dalam bentuk
d.        apapun di luar tugas dan fungsi TNI. Prajurit TNI tidak menggunakan hak memilih baik dalam Pemilu maupaun dalam Pilkada.
e.         Khusus bagi prajurit TNI (Istri / Suami / anak prajurit TNI), hak memilih merupakan hak individu selaku warga Negara, institusi atau satuan dilarang memberi arahan didalam menentukan pelaksanaan dari hak pilih tersebut.
3.    Netralitas Birokrasi TNI
Bentuk dukungan TNI terhadap netralitas Pemilu adalah dengan kembali menegaskan bahwa TNI akan bersikap netral pada setiap dilaksanakannya Pemilu. Bersikap netral dalam kehidupan politik atau dalam hal ini Pemilu, diartikan berdiri sama jarak dan tidak memihak serta tidak terpengaruh oleh tarikan partai politik untuk ikut memperjuangkan kepentingannya. Sementara tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis diartikan tidak terlibat dalam kegiatan dukung-mendukung untuk kepentingan sesaat. Penegasan tersebut sudah direncanakan sejak tahun 2004, kemudian pada 2008 hal tersebut semakin dimantapkan melalui diterbitkannya buku saku Netralitas TNI. Diantaranya yang menjadi bentuk netralitas TNI/ Polri diantaranya adalah:
a.         Mengamankan penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada sesuai dengan tugas dan fungsi bantuan TNI kepada Polri.
b.        Netral dengan tidak memihak dan memberikan dukungan kepada salah satu kontestan Pemilu dan Pilkada.
c.         Satuan/Perorangan/fasilitas TNI tidak dilibatkan pada rangkaian kegiatan Pemilu dan Pilkada dalam bentuk apapun di luar tugas dan fungsi TNI.
d.        Prajurit TNI tidak menggunakan hak memilih baik dalam Pemilu maupun dalam Pilkada.
e.         Khusus bagi prajurit TNI (Istri / Suami / anak prajurit TNI), hak memilih merupakan hak individu selaku warga Negara, institusi atau satuan dilarang memberi arahan di dalam menentukan pelaksanaan dari hak pilih tersebut.

C.             Upaya Menjaga Netralitas
Partai politik dewasa ini telah menanamkan pengaruhnya terhadap birokrasi lokal ; yang tentu saja dikhawatirkan akan mempengaruhi sikap netral para birokrat lokal, menjelang pemilu. Untuk itu upaya untuk menjaga netralitas harus senantiasa dilakukan sedini dan semaksimal mungkin. Memberikan pendidikan pemilih bagi para birokrat ; menjadi salah satu alternatifnya, dan pelaksanaannya tentu saja bisa dilakukan oleh KPUD atau KORPRI setempat. Dengan pendidikan ini, diharapkan mereka akan bebas memilih sesuai hati nuraninya tanpa paksaan atau tekanan dari atasan.
Sekaligus bisa menjadi “rem” bagi pejabat yang suka memobilisasi bawahannya secara tertutup menjelang pemilu. Alternatif yang lain adalah mangeluarkan aturan yang lebih tegas yang melarang para birokrat untuk terlibat dalam kegiatan kampanye politik, khususnya pada hari kerja. Hal ini untuk mencegah penggunaan fasilitas negara oleh parpol dalam kampaye, baik itu pemakaian kendaraan dinas, biaya dinas dsb.








BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia khususnya Tata Kelolola pemerintahan daerah, diharapkan akan memberikan pelajaran yang berharga betapa sulitnya bagi Birokrasi untuk bisa steril dari pengaruh partai politik ataupun kepentingan penguasa.
Untuk memperbaiki adanya hambatan-hambatan untuk menjadi birokrasi yang netral maka mutlak untuk melakukan perbaikan dan perubahan terhadap sikap dan prilaku Birokrat sehingga tumbuh menjadi Birokrasi yang Profesional dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai Pelayan Masyarakat.
Seorang administrator publik mempunyai kewajiban untuk melakukan tugasnya untuk melayani masyarakat sebaik mungkin tanpa ada pilih kasih dan tanpa memihak

No comments:

Post a Comment