Contoh Makalah Netralitas Birokrasi
BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah netralitas aparat
pemerintah telah lama menjadi perdebatan yang ramai. Hal ini disebabkan karena
posisi aparat yang mendua seringkali bersifat dilematis. Dualisme itu
ditunjukkan dengan peran ganda aparat pemerintah, di satu sisi ia berperan
sebagai warga negara biasa. Sebagai pegawai pemerintah ia harus bertanggung
jawab dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya dengan baik dan tanpa memihak
(bersikap netral). Dan sebagai warga negara biasa di masyarakat yang demokratis
ia berpartisipasi dalam proses politik. Posisi dilematis aparat pemerintah
tersebut seringkali merugikan aparat itu sendiri, negara dan masyarakat.
Keterlibatan pegawai pemerintah dalam kegiatan-kegiatan politik dapat berakibat
timbulnya bias administratif di mana mereka akan mengabaikan kewajibannya untuk
memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat luas tanpa memihak
dan cenderung hanya memberi pelayanan kepada segolongan masyarakat tertentu
yang menjadi anggota salah satu partai politik di mana ia juga berada
didalamnya. Namun melarang pegawai pemerintah terlibat dalam proses politik
sama halnya dengan mencabut hak-hak sipil mereka sebagai warga negara.
Bagaimanakah sebaiknya menyeimbangkan kedua peran pegawai pemerintahan tersebut
itulah yang masih menjadi tanda Tanya besar sampai saat ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
tuntutan sebuah negara akan adanya netralitas birokrasi ?
2. Bagaimana
netralitas birokrasi dalam pemilu ?
3. Bagaimana
upaya-upaya dalam menjaga netralitas birokrasi ?
C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan
tuntutan sebuah negara akan adanya netralitas birokrasi
2. Menjabarkan
netralitas birokrasi dalam pemilu.
3. Menjelaskan
upaya-upaya dalam menjaga netralitas birokrasi.
BAB II
KERANGKA TEORI
A.
Konsep Birokrasi Hegel
Hegel dalam karyanya yang
berjudul philosophy of right yang terbit tahun 1821 mengembangkan suatu teori
yang disebut “Universal Stand”. Istilah ini merujuk kepada kelompok
fungsioner-fungsioner negara dan fungsi baru yang dijalankan sebagai hasil dari
modernisasi pasca revolusi, dari sudut pandang Hegel bahwa peran dari kelompok
fungsioner-fungsioner negara tidak sepenuhnya ‘administratif’, namun juga
intelektual. Dengan terserapnya mereka ke dalam negara (pelayanan publik di
dalam masyrakat) intelektual itu menemukan jati dirinya, ini disebakan karena
negaralah dimana beragam kepentingan partikular masyarakat sipil diselaraskan
dan diangkat ke level kepentingan umum yang lebih tinggi. Negara bersifat
universal bagi Hegel karena membebaskan kaum intelektual, serta di dalam
pelayanan atau masyarakat kaum intelektual (birokrasi) mampu menjalankan
aktivitas mediasi, dan membawa kepentingan ke tingakat umum yang lebih tinggi.
Jadi bisa kita simpulkan bahwa dalam pandangan Hegel. Birokrasi memiliki peran
atau berperan sebagai jembatan penghubung antara masyarakat dan negara.
B.
Konsep Birokrasi Karl Marx
Konsep netralitas birokrasi telah
dikembangkan menurut beberapa ahli menjadi sebuah teori yang digunakan dalam
penerapan birokrasi, salah satunya menurut Karl Marx. Menelusuri konsep tentang birokrasinya Karl Marx dalam
hubungannya tentang negara karena dalam hal ini Marx menggap bahwa birokasi
sama halnya dengan negara. Dalam pandangan Marx tentang negara dilihat bahwa
Marx menganggap pada hakikatnya negara adalah negara kelas, yaitu negara secara
lansung atau tidak langsung dikuasai oleh orang-orang yang menguasai bidang
ekonomi, jadi menurut Marx bahwa negara bukanlah lembaga diatas masyarakat yang
bertindak secara pamrih yang bersifat netral yang bertindak demi kepentingan
umum, akan tetapi alat ditangan para pemilik modal untuk mempertahankan
kekuasaanya, sehingga wajar ketika kebijakan yang dikeluarkan negara hanya
mementingan segelintir kelompok kecil.
C.
Etika dalam Birokrasi
Etika dalam konteks birokrasi
menurut Dwiyanto (2002:188), mengatakan bahwa: “Etika birokrasi digambarkan
sebagai suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas
pelayanan pada masyarakat”. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan
publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasinya. Etika harus
diarahkan pada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar mengutamakan
kepentingan masyarakat luas.
Sementara
pemahaman pelayanan publik yang disediakan oleh birokrasi merupakan wujud dari
fungsi aparat birokrasi sebagai abdi masyarakat dan abdi negara. Sehingga
maksud dari public service tersebut demi mensejahterakan masyarakat.
Berkaitan dengan hal tersebut, Widodo (2001:269) mengartikan pelayanan
publik sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat
yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan
tata cara yang telah ditetapkan.
Dalam
sebuah birokrasi, terdapat sistem kegiatan yang terkoordinasi yang mengarah
tujuan bersama di bawah kewenangan seorang pemimpin. Peran seorang pemimpin
akan mempengaruhi kemana suatu negara akan bergerak; untuk kemajuan atau malah
kemunduran. Peran moral kepemimpinan dalam upaya membantu pelaksanaan pelayanan
publik yang baik sangatlah besar, sebagaimana diungkapkan oleh Putra Fadillah (2001:34),
bahwa moral kepemimpinan pejabat publik untuk berbuat baik dalam pelayanan
publik dan mematuhi norma hukum yang berlaku akan mewujudkan jati diri
birokrasi dan pelayanan publik yang sejati. Dengan demikian kepemimpinan etis
diperlukan dan penting dalam sebuah organisasi atau negara.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Tuntutan
akan Netralitas Birokrasi
Bergulirnya reformasi tahun
1998, telah memberikan kondisi kepolitikan yang lebih baik di daerah dibanding
dengan pemerintahan sebelumnya. Adanya otonomi daerah
dan desentralisasi politik telah meningkatkan partisipasi politik publik. Ini
adalah hal yang positif bagi pembangunan demokrasi di daerah. Tapi juga dapat
menimbulkan kekhawatiran akan dampak negatifnya. Lebih dari itu, gerakan
netralitas birokrasi juga memunculkan pluralisma Birokrasi (beurakratic
plouralism), dimana format kebijakan lebih merupakan hasil dari kompetisi
aktor-aktor ketimbang monopoli negara. Salah satu indikasi penting yaitu,
peluang untuk mempengaruhi kebijakan publik lebih dimungkinkan dan juga relatif
meningkatnya tanggungjawab birokrasi terhadap masalah-masalah sosial dan
tekanan sosial. Miftah Thoha
mengatakan ”netralitas birokrasi sebagai posisi birokrasi pemerintah yang
seyogyanya tidak memihak, sengaja dibuat untuk memihak kepada kepentingan
politik atau partai politik”. Riant Nugroho menyebutkan, pembangunan
di Indonesia dilakukan dalam paradigma politik yang dicerminkan ganti penguasa
ganti peraturan. Karena dalam konsep ini, peraturan ditempatkan sebagai bukti
kekuasaan, dan kekuasaan is the core of
the politics. Dalam pengertian tersebut, maka pembangunan dilakukan dengan
paradigma politik bukan manejemen. Manejemen dalam bentuk sebuah paradigma
melihat segala sesuatunya sebagai sebuah upaya untuk mengoptimalkan semua asset
yang ada, termasuk aset yang diberikan oleh manajemen.
Hal ini sejalan dengan
slogan when politic end, administration begin. Artinya, ketika seorang politisi
menduduki jabatan publik, maka ia menanggalkan status politisnya untuk menjadi
seorang negawaran. Negarawan yang berdiri di atas semua kepentingan dan
golongan.
B.
Netralitas Birokrasi Dalam Pemilu
Satu hal yang harus dijaga dan menjadi tantangan berat, jika
ingin Pemilu berkualitas dan berjalan LUBER dan JURDIL; adalah mempertahankan
atau bahkan meningkatkan netralitas birokrasi pemerintah. Birokrasi merupakan
salah satu struktur politik yang penting dalam proses demokratisasi. Para
birokrat menjadi agen sosialisasi politik yang sangat berperan dalam
menyukseskan penyelenggaraan pemilu, pilpres dan pilkada. Kecenderungan yang
terjadi pada era orde baru yang menjadikan konsep “monoloyalitas birokrasi”
sesuai PP No. 12/1969, yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri waktu itu,
telah menjadikan birokrasi sebagai alat yang ampuh untuk menjustifikasi
kebijakan pemerintah dan melegitimasi kekuasaan. Jiwa dan semangat
“monoloyalitas” telah tertanam di dalam diri setiap birokrat dan pada tingkat
tertentu juga militer, terhadap keberadaan Golkar pada era itu, menyebabkan
pola-pola yang terbentuk, semakin menampakkan warna dan gejala “birokratik”.
Tentu, kita tidak ingin “penyakit lama” para birokrat termasuk di dalamnya PNS;
yakni keberpihakan pada salah satu parpol akan kambuh kembali. Keluarnya PP No.
5 dan No. 12 tahun 1999, yang membatasi PNS dalam berkiprah di dunia politik;
menjadi “obat” bagi kebuntuan proses demokratisasi yang telah berjalan puluhan
tahun. Untuk menjawab tantangan itu maka diperlukan nitralitas birokrasi.
1.
Netralitas PNS
Sejarah birokrasi di Indonesia menunjukkan, PNS selalu
merupakan obyek politik dari kekuatan partai politik (parpol) dan aktor
politik. Jumlahnya yang signifikan dan fungsinya yang strategis dalam
menggerakkan anggaran keuangan negara selalu menjadi incaran tiap parpol untuk
menguasai dan memanfaatkan PNS dalam aktivitas politik. Saat-saat menjelang
pemilu, aktivitas politik partisan PNS menjadi kian intensif karena
partisipasinya untuk mendukung kampanye secara terbuka maupun terselubung amat
efektif.
Bagi parpol, keterlibatan PNS akan amat membantu dan
mempermudah pelaksanaan kampanye yang sering terjadi melalui pemanfaatan
fasilitas negara (mobil, gedung, dan kewenangan) secara diskriminatif,
yang menguntungkan salah satu parpol. Selain itu, di pelosok pedesaan
yang mayoritas penduduknya tidak terdidik, figur dan pilihan PNS akan menjadi
referensi bagi pilihan masyarakat.
Pertukaran ekonomi politik antara partai/aktor politik
(caleg) dan PNS dalam pemilu tidak saja menguntungkan sisi politik, tetapi juga
PNS sendiri. Keberpihakan PNS dalam pemilu kepada parpol/caleg dibutuhkan
untuk promosi dan karier jabatan. Dalam sistem birokrasi di Indonesia kini, di
mana promosi dan karier jabatan tidak ditentukan oleh kompetensi dan kinerja,
tetapi oleh afiliasi politik, netralitas PNS sulit ditegakkan. Hal inilah yang
dapat menyumbangkan terjadinya blunder dalam pelaksanaan pemilu.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian Negara
mengatur secara tegas netralitas pegawai dalam pemerintahan. Pasal 3 UU No
43/1999 mengatur, (1) Pegawai negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara
yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional,
jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan
pembangunan; (2) Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Ayat (1), pegawai negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai
politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Ketentuan ini jelas melarang keberpihakan PNS dalam menjalankan fungsi
pemerintahan dan pembangunan. Dalam praktik, tercatat ada tiga bentuk
pelanggaran yang dilakukan PNS dan pejabat pemerintahan dalam pemilu.
Pertama, penyalahgunaan kewenangan
yang dimiliki, antara lain menerbitkan aturan yang mewajibkan kampanye kepada
bawahan, pengumpulan dana bagi parpol tertentu, pemberian izin usaha disertai
tuntutan dukungan kepada parpol/caleg tertentu, penggunaan bantuan pemerintah
untuk kampanye, mengubah biaya perjalanan dinas, dan memaksa bawahan membiayai
kampanye parpol/caleg dari anggaran negara.
Kedua, penggunaan fasilitas negara
secara langsung, misalnya penggunaan kendaraan dinas, rumah dinas, serta kantor
pemerintah dan kelengkapannya. Ketiga, pemberian dukungan lain, seperti bantuan
sumbangan, kampanye terselubung, memasang atribut parpol/caleg di kantor,
memakai atribut parpol/caleg, menghadiri kegiatan kampanye dengan menggunakan
pakaian dinas dan kelengkapannya, serta pembiaran atas pelanggaran kampanye
dengan menggunakan fasilitas negara dan perlakuan tidak adil/diskriminatif atas
penggunaan fasilitas negara kepada parpol/caleg. Larangan penggunaan fasilitas
pemerintah ini juga diatur dalam Pasal 84 Ayat 1 Huruf h Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pasal 41 Ayat 1
Huruf h Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden.
2.
Netralitas TNI/POLRI
Salah satu bentuk dukungan Tni terhadap netralitas pemilu
adalah embali menegaskan jaminannya bahwa TNI akan bersikap netral pada
Pemilu, Penegasan TNI untuk netral sudah dicanangkan sejak 2004 dan pada 2008
makin dimantapkan dengan diterbitkannya buku saku Netralitas TNI. Diantaranya
yang menjadi bentuk netralitas TNI/ Polri diantaranya adalah:
a.
mengamankan
penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada sesuai dengan tugas dan fungsi bantuan TNI
kepada Polri.
b.
Netral
dengan tidak memihak dan memberikan dukungan kepada salah satu kontestan Pemilu
dan Pilkada.
c.
Satuan
/ Perorangan / fasilitas TNI tidak dilibatkan pada rangkaian kegiatan Pemilu
dan Pilkada dalam bentuk
d.
apapun
di luar tugas dan fungsi TNI. Prajurit TNI tidak menggunakan hak memilih baik
dalam Pemilu maupaun dalam Pilkada.
e.
Khusus
bagi prajurit TNI (Istri / Suami / anak prajurit TNI), hak memilih merupakan
hak individu selaku warga Negara, institusi atau satuan dilarang memberi arahan
didalam menentukan pelaksanaan dari hak pilih tersebut.
3.
Netralitas Birokrasi TNI
Bentuk dukungan TNI terhadap netralitas
Pemilu adalah dengan kembali menegaskan bahwa TNI akan bersikap netral pada
setiap dilaksanakannya Pemilu. Bersikap netral dalam kehidupan politik atau
dalam hal ini Pemilu, diartikan berdiri sama jarak dan tidak memihak serta
tidak terpengaruh oleh tarikan partai politik untuk ikut memperjuangkan
kepentingannya. Sementara tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis
diartikan tidak terlibat dalam kegiatan dukung-mendukung untuk kepentingan
sesaat. Penegasan tersebut sudah direncanakan sejak tahun 2004, kemudian pada
2008 hal tersebut semakin dimantapkan melalui diterbitkannya buku saku Netralitas TNI. Diantaranya
yang menjadi bentuk netralitas TNI/ Polri diantaranya adalah:
a.
Mengamankan
penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada sesuai dengan tugas dan fungsi bantuan TNI
kepada Polri.
b.
Netral
dengan tidak memihak dan memberikan dukungan kepada salah satu kontestan Pemilu
dan Pilkada.
c.
Satuan/Perorangan/fasilitas
TNI tidak dilibatkan pada rangkaian kegiatan Pemilu dan Pilkada dalam bentuk
apapun di luar tugas dan fungsi TNI.
d.
Prajurit
TNI tidak menggunakan hak memilih baik dalam Pemilu maupun dalam Pilkada.
e.
Khusus
bagi prajurit TNI (Istri / Suami / anak prajurit TNI), hak memilih merupakan
hak individu selaku warga Negara, institusi atau satuan dilarang memberi arahan
di dalam menentukan pelaksanaan dari hak pilih tersebut.
C.
Upaya Menjaga Netralitas
Partai politik dewasa ini telah menanamkan pengaruhnya
terhadap birokrasi lokal ; yang tentu saja dikhawatirkan akan mempengaruhi
sikap netral para birokrat lokal, menjelang pemilu. Untuk itu upaya untuk
menjaga netralitas harus senantiasa dilakukan sedini dan semaksimal mungkin. Memberikan
pendidikan pemilih bagi para birokrat ; menjadi salah satu alternatifnya,
dan pelaksanaannya tentu saja bisa dilakukan oleh KPUD atau KORPRI setempat.
Dengan pendidikan ini, diharapkan mereka akan bebas memilih sesuai hati
nuraninya tanpa paksaan atau tekanan dari atasan.
Sekaligus bisa menjadi “rem” bagi pejabat yang suka
memobilisasi bawahannya secara tertutup menjelang pemilu. Alternatif yang
lain adalah mangeluarkan aturan yang lebih tegas yang melarang para
birokrat untuk terlibat dalam kegiatan kampanye politik, khususnya pada hari
kerja. Hal ini untuk mencegah penggunaan fasilitas negara oleh parpol dalam
kampaye, baik itu pemakaian kendaraan dinas, biaya dinas dsb.
BAB
IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia khususnya
Tata Kelolola pemerintahan daerah, diharapkan akan memberikan pelajaran yang
berharga betapa sulitnya bagi Birokrasi untuk bisa steril dari pengaruh partai
politik ataupun kepentingan penguasa.
Untuk memperbaiki adanya hambatan-hambatan untuk menjadi
birokrasi yang netral maka mutlak untuk melakukan perbaikan dan perubahan
terhadap sikap dan prilaku Birokrat sehingga tumbuh menjadi Birokrasi yang
Profesional dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai Pelayan Masyarakat.
Seorang administrator publik mempunyai kewajiban untuk melakukan tugasnya untuk
melayani masyarakat sebaik mungkin tanpa ada pilih kasih dan tanpa memihak
Comments
Post a Comment