Contoh Makalah Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Menurut Undang-undang
Kepegawaian Nomor 43 Tahun 1999, Pegawai Negeri Sipil (PNS) selaku aparatur
pemerintah memiliki kewajiban untuk bertugas memberikan pelayanan kepada
masyarakat secara professional. Selaku pelayan masyarakat, PNS harus memberikan
pelayanan yang terbaik atau prima kepada penerima pelayanan tanpa pandang bulu.
Jadi PNS berkewajiban memberikan pelayanan atau melayani, bukan minta dilayani.
Dari dasar inilah penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu sangat
dibutuhkan.
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP)
berkaitan dengan kegiatan penyelenggaraan jasa perizinan dan non-perizinan,
yang proses pengelolaannya di mulai dari tahap permohonan sampai ke tahap
penerbitan ijin dokumen, dilakukan secara terpadu dalam satu tempat.
Pelayanan
perizinan dengan sistem terpadu satu pintu (one stop service) ini
membuat waktu pembuatan izin menjadi lebih singkat. Pasalnya, dengan pengurusan
administrasi berbasis teknologi informasi, input data cukup dilakukan sekali
dan administrasi bisa dilakukan simultan.
Dengan
adanya kelembagaan pelayanan terpadu satu pintu, seluruh perizinan dan
nonperizinan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota dapat terlayani dalam satu
lembaga. Harapan yang ingin dicapai adalah mendorong pertumbuhan ekonomi
melalui peningkatan investasi dengan memberikan perhatian yang lebih besar pada
peran usaha mikro, kecil, dan menengah.
Tujuannya
adalah meningkatkan kualitas layanan publik. Oleh karena itu, diharapkan
terwujud pelayanan publik yang cepat murah, mudah, transparan, pasti, dan
terjangkau, di samping untuk meningkatkan hak-hak masyarakat terhadap pelayanan
publik.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa
yang dimaksud dengan pelayanan terpadu satu pintu ?
2. Apa
saja asas-asas penyelenggaraan pelayanan public satu pintu ?
3. Bagaimana
kebijakan PTSP jika didasarkan pada pendekatan system ?
4. Apa
saja kendala dalam pembentukan PTSP ?
C.
TUJUAN PENULISAN
1. Menjelaskan
yang dimaksud dengan pelayanan terpadu satu pintu
2. Menjabarkan
dan menjelaskan asas-asas pelayanan public satu pintu
3. Menjelaskan
kebijakan PTSP jika didasarkan pada pendekatan system.
4. Menggambarkan
kendala dalam pembentukan PTSP.
BAB
II
KAJIAN
TEORI
A. PELAYANAN
Secara
etimologis, pelayanan ialah ”usaha melayani kebutuhan orang lain”. Pelayanan
pada dasarnya adalah kegiatan yang ditawarkan kepada konsumen atau pelanggan
yang dilayani, yang bersifat tidak berwujud dan tidak dapat dimiliki.
Pengertian
lebih luas disampaikan Daviddow dan Uttal (Sutopo dan Suryanto, 2003:9) bahwa
pelayanan merupakan usaha apa saja yang mempertinggi kepuasan pelanggan.
Pelayanan
publik yang dimaksud dalam Keputusan Menpan Nomor 63 Tahun 2003 (Menpan,
2003:2) adalah ”segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara
pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Sejalan dengan Rancangan
Undang Undang Pelayanan Publik (Republik Indonesia, 2007:2) memaknai bahwa
”pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak sipil setiap warga negara dan
penduduk atas suatu barang, jasa, dan atau pelayanan administrasi yang
disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.”
B. PUBLIK
Publik
pada dasarnya berasal dari bahasa Inggris “public” yang berarti umum, rakyat
umum, orang banyak dan rakyat. Nampaknya kata “publik” diterjemahkan oleh
beberapa kalangan berbeda- beda sebagaimana kepentingan mereka. Berikut
beberapa defenisi menurut para ahli
Syafie
dkk, ,mengatakan bahwa pubik adalah sejumlah manusia yang memiliki kebersamaan
berpikir, perasaan, harapan, sikap dan tindakan yang benar dan baik berdasarkan
nilai-nilai norma yang mereka miliki.
H.
George Fredrickson, menjelaskan konsep “public” dalam lima perspektIf, yaitu
(1) public sebagai kelompok kepentingan, yaitu public dilihat sebagai
manifestasi dari interaksi kelompok yang melahirkan kepentingan masyarakat, (2)
public sebagai pemilih yang rasional, yaitu masyarakat terdiri atas individu-
individu yang berusaha memenuhi kebutuhan dan kepentingan sendiri, (3) public
sebagai perwakilan kepentingan masyarakat, yaitu kepentingan public diwakili
melalui suara (4) public sebagai konsumen, yaitu konsumen sebenarnya tidak
terdiri dari individu-individu yang tidak berhubungan satu sama lain, namun
dalam jumlah yang cukup besar mereka menimbulkan tuntutan pelayanan birokrasi.
Karena itu posisinya dianggap juga dianggap sebagai public, dan (5) public sebagai
warga Negara dalam seluruh proses penyelenggaraan pemerintahan dipandang sebagai sesuatu yang
paling penting.
C. PELAYANAN PUBLIK
Pelayanan
public menurut Sinambela adalah setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan
dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya
tidak terikat pada suatu produk secara fisik.
Agung
Kurniawan mengatakan pelayanan publik adalah pemberian pelayanan (melayani) keperluan
orang lain atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu
sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
Jadi, Pelayanan
publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan(melayani) keperluan orang atau
masyarakat yang mempunyaikepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan
pokok dantata cara yang telah ditetapkan.
BAB
III
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN PELAYANAN
TERPADU SATU PINTU
Penyelenggaraan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) adalah kegiatan penyelenggaraan jasa
perizinan dan non-perizinan, yang proses pengelolaannya di mulai dari tahap
permohonan sampai ke tahap penerbitan ijin dokumen, dilakukan secara terpadu
dalam satu tempat.
Dengan
konsep ini, pemohon cukup datang ke satu tempat dan bertemu dengan
petugas front office saja. Hal ini dapat meminimalisasikan
interaksi antara pemohon dengan petugas perizinan dan menghindari
pungutan-pungutan tidak resmi yang seringkali terjadi dalam proses pelayanan.
Pembentukan
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) pada dasarnya ditujukan
untuk menyederhanakan birokrasi pelayanan perizinan dan non-perizinan dalam
bentuk :
1. Mempercepat waktu pelayanan dengan
mengurangi tahapan-tahapan dalam pelayanan yang kurang penting. Koordinasi yang
lebih baik juga akan sangat berpengaruh terhadap percepatan layanan perizinan.
2. Menekan biaya pelayanan izin usaha,
selain pengurangan tahapan, pengurangan biaya juga dapat dilakukan dengan
membuat prosedur pelayanan serta biaya resmi menjadi lebih transparan.
3. Menyederhanakan persyaratan izin
usaha industri, dengan mengembangkan sistem pelayanan paralel dan akan
ditemukan persyaratan-persyaratan yang tumpang tindih, sehingga dapat dilakukan
penyederhanaan persyaratan. Hal ini juga berdampak langsung terhadap pengurangan
biaya dan waktu.
Pelayanan
perizinan dengan sistem terpadu satu pintu (one stop service) ini
membuat waktu pembuatan izin menjadi lebih singkat. Pasalnya, dengan pengurusan
administrasi berbasis teknologi informasi, input data cukup dilakukan sekali
dan administrasi bisa dilakukan simultan.
Dengan
adanya kelembagaan pelayanan terpadu satu pintu, seluruh perizinan dan
nonperizinan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota dapat terlayani dalam satu
lembaga. Harapan yang ingin dicapai adalah mendorong pertumbuhan ekonomi
melalui peningkatan investasi dengan memberikan perhatian yang lebih besar pada
peran usaha mikro, kecil, dan menengah.
Tujuannya
adalah meningkatkan kualitas layanan publik. Oleh karena itu, diharapkan
terwujud pelayanan publik yang cepat murah, mudah, transparan, pasti, dan
terjangkau, di samping untuk meningkatkan hak-hak masyarakat terhadap pelayanan
publik.
Bentuk
pelayanan terpadu ini bisa berbentuk kantor, dinas, ataupun badan. Dalam
penyelenggaraannya, bupati/wali kota wajib melakukan penyederhanaan layanan
meliputi :
1. pelayanan atas permohonan perizinan
dan non perizinan dilakukan oleh Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(PPTSP);
2. percepatan waktu proses penyelesaian
pelayanan tidak melebihi standar waktu yang telah ditetapkan dalam peraturan
daerah;
3. kepastian biaya pelayanan tidak
melebihi dari ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah;
4. kejelasan prosedur pelayanan dapat
ditelusuri dan diketahui setiap tahapan proses pemberian perizinan dan non
perizinan sesuai dengan urutan prosedurnya;
5. mengurangi berkas kelengkapan
permohonan perizinan yang sama untuk dua atau Lebih permohonan perizinan;
6. pembebasan biaya perizinan bagi
Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang ingin memulai usaha baru sesuai dengan
peraturan yang berlaku; dan
7. pemberian hak kepada masyarakat
untuk memperoleh informasi dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pelayanan
Lingkup tugas PPTSP meliputi pemberian pelayanan atas semua hentuk pelayanan
perizinan dan non perizinan yang menjadi kewenangan Kabupaten / Kota.
Selain
itu PPTSP mengeiola administrasi perizinan dan non perizinan dengan mengacu
pada prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan kearnanan berkas. Dalam
pengertian sempit, pelayanan terpadu dapat berarti sebagai satu instansi
pemerintah yang memiliki semua otoritas yang diperlukan untuk memberi pelbagai
perizinan (licenses, permits, approvals dan clearances).
Tanpa
otoritas yang mampu menangani semua urusan tersebut instansi pemerintah tidak
dapat mengatur pelbagai pengaturan selama proses. Oleh sebab itu, dalam hal ini
instansi tersebut tidak dapat menyediakan semua bentuk perizinan yang
diperlukan dalam berbagai tingkat administrasi, sehingga harus bergantung pada
otoritas lain.
B. ASAS PENYELENGGARAAN
PELAYANAN PUBLIK SATU PINTU
Asas
dalam penyelenggaraan pelayanan publik satu pintu yaitu :
1. Transparan, yaitu bersifat terbuka,
mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara
memadai serta mudah dimengerti oleh usaha jasa.
2. Akuntabel, yaitu dapat dipertanggung
jawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Partisipatif, yaitu mendorong peran
serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan perizinan dengan memperhatikan
aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.Salah satu contoh dengan menggunakan
jasa urus perijinan yang resmi
4. Kesamaan hak, yaitu tidak
diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender,
dan status ekonomi.Dan juga warga yang ingin memiliki surat ijin membangun
bangunan
5. Efisien, yaitu proses pelayanan
perizinan pariwisata hanya melibatkan tahap-tahap yang penting dan melibatkan
personil yang telah di tetapkan.
6. Keseimbangan antara Hak dan
Kewajiban, yaitu pemberi dan penerima pelayanan perizinan harus memenuhi hak
dan kewajiban masing-masing pihak.
7. Profesional, pemprosesan perizinan
melibatkan keahlian yang diperlukan, baik untuk validasi administratif, verifikasi
lapangan, pengukuran dan penilaian kelayakan, yang masing-masing prosesnya
dilaksanakan berdasarkan tata urutan dan prosedur yang telah ditetapkan
C. KEBIJAKAN PTSP
BERDASARKAN PENDEKATAN SISTEM
Bagaimana
seharusnya kebijakan pelayanan terpadu satu pintu dilaksanakan? Di bawah ini
akan diuraikan mulai dari pembentukan, pelaksanaan, dan monitoring/evaluasi
kebijakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pada pendekatan sistem.
Sebelum sampai pada bagaimana membentuk pelayanan terpadu satu pintu, kiranya
ada baiknya terlebih dahulu ditinjau mengenai sifat dari pelayanan terpadu itu
sendiri yang dalam gambar 1 terdapat dalam kotak identifikasi sistem, sehingga
memudahkan untuk melangkah ke jenjang selanjutnya yaitu pemodelan sistem.
1. Pembentukan
Dalam
pelayanan umum dikenal adanya (1) model pelayanan pembagian dan (2) model
pelayanan terpadu. Model pertama adalah model pembagian ditandai dengan
pelayanan yang diberikan oleh masing-masing sektor/dinas sesuai kewenangannya.
Dengan model ini masyarakat aktif mendatangi instansi yang berwenang. Apabila
diperlukan beberapa izin untuk melakukan kegiatan penanaman modal, maka
masyarakat mendatangi satu persatu instansi yang bersangkutan. Model pembagian
ini merupakan model lama yang dijalankan di instansi pemerintah.
Model
kedua adalah model pelayanan terpadu. Model ini mulai diterapkan di beberapa
daerah. Secara umum model ini diterapkan melalui pembentukan unit palayanan
satu atap/pintu sebagai satu unit tersendiri dengan mengambil alih beban kerja
pelayanan umum instansi sektoralnya, mulai dari pekerjaan administratif sampai
dengan pemeriksaan substantif permohonan izin.
Pada
kedua model pelayanan tersebut terdapat kebaikan dan keburukan. Pada model
pelayanan pembagian, pelayanan cenderung tertutup dan kurang transparan. Pada
model ini masyarakat sulit memantau proses permohonan izin, biasanya tidak ada
standar baku mengenai lamanya waktu pelayanan dan biayanya. Model ini kondusif
bagi praktek kolusi dan korupsi. Kebaikan model ini adalah instansi pemberi
izin tidak perlu berkoordinasi atau mempertimbangan instansi terkait yang lain
dalam memberikan izin. Apabila aparat di dalamnya berorientasi pada pelayanan
prima maka pelayanan dapat diberikan dengan cepat.
Pada
model terpadu, pelaksanaannya seringkali ditentang oleh instansi yang berwenang
memberikan izin. Di Indonesia seringkali suatu pekerjaan dianggap sebagai
tambahan penghasilan bagi aparat yang mengerjakannya. Dengan asumsi itu,
apabila pekerjaan pemberian izin dialihkan unit kerja terpadu maka aparat yang
bersangkutan merasa penghasilannya beralih juga. Pola terpadu ini cenderung
transparan.
Kebaikan
dari model ini kemudahan bagi masyarakat dalam mengurus izin. Disamping
melayani perizinan, model pelayanan terpadu dapat dijadikan sebagai sarana bagi
pemerintah daerah untuk memberikan semua informasi yang dibutuhkan masyarakat.
Melalui pelayanan terpadu dengan seluruh kelengkapannya, pengurusan perizinan
usaha akan menjadi mudah dan murah yang membuat pelaku usaha terhindar dari
biaya ekonomi tinggi dan waktu yang lama yang biasanya terjadi pada saat proses
pengurusan izin.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat diketahui latar belakang pembentukan pelayanan terpadu
sehingga kita dapat mengetahui filosofi dan latar belakang mengapa lembaga
pelayanan itu dibentuk. Namun demikian, saat ini bukan waktunya untuk memilih.
Pelayanan satu pintu penanaman modal berdasarkan peraturan perundang-undangan
merupakan keharusan. Yang harus dipikirkan adalah bagaimana memaksimalkan
kinerja lembaga itu, bagi yang telah terbentuk dan membentuknya bagi yang belum
membentuk.
Untuk
membentuk Pelayanan Terpadu Satu Pintu perlu juga diperhatikan Peraturan
Presiden Nomor 90 Tahun 2007 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal. Pasal 41
dan pasal 42 Perpres tersebut menyebutkan:
Pasal 41
(1)
Dalam pelaksanaan pelayanan penanaman modal terpadu satu pintu, di lingkungan
BKPM ditempatkan perwakilan secara langsung dari sektor dan daerah terkait
dengan Pejabat yang mempunyai kompetensi dan kewenangan.
(2)
Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertindak atas nama dan/atau
mewakili dan/atau menjadi penghubung dari instansi sektor dan Pemerintah Daerah
masing-masing.
(3)
Pembinaan kepegawaian Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
oleh dan menjadi kewenangan instansi sektor dan Pemerintah Daerah masing-masing
sebagai instansi induknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 42
Pejabat
sebagai perwakilan secara langsung dari sektor dan daerah terkait sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41, dalam melaksanakan pelayanan penanaman modal terpadu
satu pintu dapat sehari-hari bertugas di lingkungan BKPM atau sewaktu-waktu
apabila diperlukan sesuai dengan kebutuhan.
Sejalan
dengan ketentuan Peraturan Presiden tersebut, di tingkat pusat pelayanan
terpadu satu pintu dilaksanakan oleh BKPM dengan
melibatkan sektor dan pemerintah daerah. Namun, daerah tidak harus mengikuti
pola pelayanan yang ada di tingkat pusat. Sebagian daerah saat ini telah
membentuk Kantor Pelayanan Teknis yang merupakan satuan kerja pemerintah tersendiri.
Dengan keberadaan SKPD (satuan kerja perangkat daerah) ini risiko penolakan dari sektor terkait sebab
sektor akan merasa kewenangannya tidak diambil oleh sektor lain. Sebaliknya
apabila lembaga pelayanan ditempelkan pada SKPMD
yang telah ada (misalnya BKPMD) maka
sektor-sektor akan merasa kewenangannya diambil oleh sektor lain. Kehilangan
kewenangan masih dianggap sebagai hal yang tidak boleh terjadi oleh sebagian
aparat pemerintah.
2. Pelaksanaan
Beberapa
hal penting yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan pelayanan terpadu satu
pintu terutama bagi pemerintah daerah adalah ketersediaan segala sarana yang
mendukung baik perangkat lunak maupun perangkat keras yang meliputi:
Peraturan
di daerah mengenai daftar usaha yang tertutup dan terbuka bagi penanaman modal.
Peraturan ini penting karena pertama sebagai pedoman bagi aparat pemda dalam
memberikan izin bagi usaha yang akan dijalankan untuk dapat membuat perda ini
penyusun perda hendaknya mengacu pada Perpres 76 dan
Perpres 77 karena dalam perpres tersebut diatur mengenai kriteria dan
persyaratan penyusunan bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka
dengan persyaratan di bidang penanaman modal dan bidang usaha yang tertutup dan
bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal;
Peraturan
di daerah mengenai penataan ruang. Peraturan tata ruang akan menjadi pegangan
bagi aparat pemda dalam mempertimbangkan pemberian izin mengenai lokasi-lokasi
yang dapat diberikan untuk kegiatan penanaman modal;
Peraturan
di daerah mengenai lingkungan hidup dan kesehatan. Peraturan daerah mengenai
lingkungan hidup dapat berguna sebagai alat pengaman dalam pemberian izin
penanaman modal. Maksudnya, apabila terdapat kegiatan permohonan izin kegiatan
penanaman modal berpotensi mengganggu fungsi lingkungan hidup dan kesehatan
masyarakat, maka izin itu harus ditolak. Setiap daerah memang diharapkan bisa
mendatangkan modal ke wilayahnynya sebanyak-banyaknya. Namun, apabila kegiatan
dalam penanaman modal tersebut membawa kerugian yang lebih besar, dalam hal ini
kerusakan lingkungan hidup, maka permohonannya tetap harus ditolak dengan dasar
peraturan daerah lingkungan hidup.
Peraturan
yang mengatur mengenai kedudukan tugas, fungsi kewenangan dan tata kerja unit
pelayanan terpadu. Dengan peraturan ini terdadapat acuan yang tegas mengenai
keberadaan dari lembaga pelayanan dimaksud.
Teknologi
informasi dan komunikasi sangat penting dalam mendukung pelaksanaan tugas-tugas
unit pelayanan terpadu. Teknologi lebih memungkinkan terciptanya asas, prinsip,
dan pemenuhan standar pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Keputusan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/Kep/M.Pan/7/2003
tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Tidak
boleh diremehkan adalah peran sumber daya manusia pendukung lembaga pelayanan
terpadu. SDM merupakan ujung tombak dan etalase pelayanan. Image suatu
organisasi pelayanan akan tergantung pada SDM-nya. Oleh karena itu SDM dalam
lembaga ini harus mempunyai kompetensi yang memadai untuk melakukan tugas-tugas
pelayanan. Untuk memacu komitmen dan semangat kerja, kepada SDM dapat
diterapkan sistem reward and punishment. Punishment diberikan kepada SDM yang
tidak mampu melaksanakan tugasnya, dan reward atau insentif diberikan kepada
SDM yang menunjukkan pekerjaan yang memuaskan.
3. Pemantauan
dan evaluasi
Untuk
memastikan pelaksanaan kebijakan PTSP sudah sesuai dengan yang direncanakan,
maka diperlukan pemantauan dan pengawasan secara berjenjang dan
berkesinambungan terhadap pelaksanaan pekerjaan serta melakukan evaluasi guna
memperbaiki pelaksanaan pekerjaan. Ketentuan-ketentuan mengenai pengawasan,
pemantauan dan evaluasi dalam Permendagri Nomor 24
Tahun 2006 dapat digunakan sebagai acuan, misalnya:
Pengawasan
terhadap proses penyelenggaraan PTSP dilakukan oleh aparat pengawas intern
pemerintah sesuai dengan fungsi dan kewenangannya.
Pengawasan
atas penyelenggaraan PTSP dilakukan secara berjenjang dan berkesinambungan oleh
Menteri Dalam Negeri dan Kepala Daerah sesuai dengan tingkat urusan pemerintahan
masing-masing melalui mekanisme koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi.
Materi
pengawasan yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota didasarkan pada:
a. Peraturan Daerah tentang
pembentukan PTSP;
b. Pengintegrasian program PTSP
dalam dokumen perencanaan pembangunan dan penyediaan anggarannya;
c. Ketersediaan pegawai negeri
sipil daerah sesuai dengan jumlah dan kualifikasi yang diperlukan;
d. Ketersediaan sarana dan
prasarana untuk rnendukung PTSP; dan
e. Kinerja PTSP berpedoman pada
Standar Pelayanan Minimal (SPM) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bupati
dan Walikota menyampaikan laporan secara tertulis kepada Gubernur mengenai
perkembangan pembentukan PTSP, penyelenggaraan pelayanan, capaian kinerja,
kendala yang dihadapi, dan pembiayaan yang disampaikan secara berkala setiap 3
(tiga) bulan.
Gubernur
menyampaikan laporan secara tertulis kepada Menteri Dalam Negeri mengenai
perkembangan proses pembentukan PTSP dan penyelenggaraan pelayanan terpadu satu
pintu di wilayahnya berdasarkan laporan dari Bupati/Walikota.
Selain
pemantauan internal seharusnya dibuka pula pemantauan eksternal oleh masyarakat
melalui penerimaan pengaduan dan survey kepuasan masayarakat terhadap pelayanan
yang diberikan yang sering disebut dengan indeks kepuasan masyarakat (IKM) yang
akan berfungsi sebagai feedback dalam sebuah sistem.
D. kendala dalam pembentukan PTSP
Dalam
mengatur tata kerja, penyusun Peraturan Presiden mungkin akan dihadapkan pada
benturan kepentingan berbagai pihak sebagaimana terjadi ketika mulai
diberlakukan Keppres 29 Tahun 2004. Ketika itu
beberapa instansi terkait enggan untuk melimpahkan atau berkoordinasi dengan
BKPM dalam melayani perizinan kepada penanam modal. Seringkali di Indonesia
kewenangan perizinan dianggap sebagai “profit center” yang mesti dipertahankan
oleh suatu instansi. Mungkin hal itulah yang mengakibatkan keengganan tersebut.
Bentuk organisasi juga dapat menjadi ganjalan terlaksananya PTSP. Apakah
organisasi tersebut akan dibangun :
1. Sebagai unit promosi dan
informasi penanaman modal,
2. Sebagai sekretariat/koordinator
yang mendistribusikan tugas ke dinas-dinas ke instansi terkait, atau
3. Sebagai lembaga yang mempunyai
otoritas mengeluarkan izin bagi penanaman modal.
Masih
berkaitan dengan bentuk organisasi adalah masalah keanggotaan. Apabila yang
diambil pilihan pertama dan kedua, maka tidak terlalu menjadi masalah.
Keanggotaan wakil dari instansi terkait di Pelayanan Terpadu Satu Pintu bisa
sebagai “liason officer” atau “officer on call”. Tetapi apabila pilihan ketiga
yang dipilih, maka institusi terkait harus memberikan pelimpahan wewenang
kepada lembaga PTSP.
Pelaksanaan
kebijakan pelayanan terpadu satu pintu di daerah masih berpedoman pada
Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman
Modal Dalam Negeri melalui Sistem Pelayanan Satu Atap dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Pemerintah daerah hendaknya juga
mengetahui pengaturan pelayanan dalam Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007.
Meskipun keempat peraturan perundang-undangan tersebut dapat dikatakan sejalan,
dengan menggunakan dasar Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, maka pembuatan
kebijakan dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu menjadi lebih kuat.
Namun
demikian, berkaitan dengan bentuk kelembagaan pelayanan penanaman modal, muncul
kebingungan pemerintah daerah terhadap berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 41
Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Dalam Peraturan Pemerintah ini
pembentukan organisasi pelayanan satu pintu bukan merupakan keharusan. Dalam
Pasal 47 diatur bahwa untuk membentuk unit pelayanan terpadu digunakan kata
”dapat” yang artinya dapat dibentuk, tetapi boleh juga tidak dibentuk. Personal
atau pegawainya merupakan gabungan unsur-unsur perangkat daerah berbagai
sektor. Pasal tersebut berbunyi:
”Pasal 47
1) Untuk
meningkatkan dan keterpaduan pelayanan masyarakat di bidang perizinan yang
bersifat lintas sektor, gubernur/bupati/walikota dapat membentuk unit pelayanan
terpadu.
2) Unit
pelayanan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan gabungan dari
unsur-unsur perangkat daerah yang menyelenggarakan fungsi perizinan.
3) Unit
pelayanan terpadu didukung oleh sebuah sekretariat sebagai bagian dari
perangkat daerah.”
Terhadap
keberadaan PTSP terdapat dua kelompok tanggapan. Kelompok pertama adalah yang
mendukung keberadaan pelayanan ini. Kelompok ini melihat pada respon yang baik
dari masyarakat maupun aparat pemerintah di beberapa kabupaten/kota terhadap
keberadaan pelayanan terpadu. Contoh keberhasilan itu adalah Kabupaten Sragen yang mendapatkan penghargaan untuk
mutu pelayanan terpadunya dan menjadi contoh bagi kabupaten/kota lain.
Kebijakan pelayanan terpadu dapat mendukung terciptanya aspek-aspek dalam good
governance dan memperkecil kemungkinan terjadinya kolusi dan korupsi.
Kelompok
kedua adalah kelompok yang menentang keberadaan PTSP ini. Keberadaan pelayanan
terpadu tidak akan berjalan efektif karena instansi hanya memindahkan orang dan
tempat. Bahkan di beberapa aspek menimbulkan kerugian bagi masyarakat, misalnya
yang semula letak pengurusan dekat, dengan adanya kebijakan pelayanan terpadu
satu pintu pengurusannya menjadi lebih jauh. Karena tidak ada altenatif
pengurusan, maka iklim kompetisi dalam memberikan pelayanan menjadi tidak ada.
BAB
IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Kebijakan
sistem PTSP dapat saja sebagai alternatif perbaikan dari Sistem Pelayanan Satu
Atap. Namun demikian, sistem baru ini tidak akan memberikan perubahan yang
diharapkan, jika tidak dapat menunjukan adanya efisien dalam pelayanan,
memiliki standar waktu dan biaya yang jelas, memiliki prosedur pelayanan yang
sederhana, dan mudah diakses oleh yang membutuhkan. Untuk mewujudkan sistem
pelayanan administrasi penanaman modal yang memiliki karakter demikian, salah
satu strategi yang perlu dikembangkan dalam PTSP adalah melalui pembentukan
Unit Pelayanan (UP) yang memiliki kewenangan khusus dalam pemberian perizinan
bidang penanaman modal. UP tersebut dapat didesain dalam beberapa bentuk,
antara lain:
1. Merupakan Satuan/Unit Kerja
tertentu, yang memiliki kewenangan untuk memberikan pelayanan perizinan
penanaman modal secara terpusat. Satuan/Unit Kerja ini memiliki kewenangan
untuk memproses dan menerbitkan berbagai perizinan yang merupakan pelimpahan
sebagian dari kewenangan unit-unit kerja yang melayani perizinan.
2. Merupakan Satuan/Unit Kerja
yang memberikan pelayanan perizinan penanaman modal. Satuan/Unit kerja ini
memiliki front line yang berfungsi untuk menerima semua permohonan perizinan
penanaman modal di daerah dan back line yang memiliki hubungan kerja dengan
satuan/unit kerja yang secara fungsional menerbitkan perizinan.
Kedua
bentuk UP tersebut dirancang untuk mengurangi jalur birokrasi dan
menyederhanakan prosedur dalam pelayanan penanaman modal di daerah. Dengan
demikian, diharapkan waktu dan biaya yang diperlukan untuk pengurusan perizinan
penanaman modal di daerah akan lebih cepat dan murah. Selanjutnya, terkait
dengan upaya perbaikan iklim penanaman modal di daerah, pembenahan kelembagaan
ini juga harus didukung oleh perbaikan dalam standar pelayanan penanaman modal,
kualitas sumber daya aparatur yang menangani bidang tersebut, dan komitmen para
pimpinan di daerah.
DAFTAR
PUSTAKA
Syafie
Kencana Inu, dkk. 1999. Ilmu Administrasi
Publik. Jakarta : Reneka Cipta
Pasolong
Harbani, 2007. Teori Administrasi Publik.
Bandung : Alfabeta
Lijak Poltak Sinambela
dkk. 2006. Reformasi Pelayanan Publik. Jakarta: Bumi Aksara
Undang-undang Republik
Indonesia nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Comments
Post a Comment